Sentralinfo.com, Jambi – Tindakan Dinas PUPR Kota Jambi yang mengeluarkan Surat Peringatan Pertama (SP-1) kepada Budi Harjo alias Acok terkait pembongkaran pagar yang diduga menutup akses jalan publik di Kelurahan Talang Gulo, mendapat sorotan dari berbagai kalangan. Salah satunya dari pengamat kebijakan publik dan tata ruang, Ir. Martayadi Tajuddin, MM, yang juga akademisi aktif di bidang infrastruktur dan perencanaan kota.
Martayadi menyampaikan bahwa langkah tegas yang diambil Dinas PUPR saat ini layak diapresiasi, mengingat sebelumnya (pada tahun 2023) dinas teknis tersebut memang belum memiliki data valid seperti hasil pengukuran BPN dan pernyataan warga yang cukup kuat untuk mengambil tindakan administratif.
“Langkah PUPR dalam menerbitkan SP-1 tahun 2025 ini menunjukkan progres penegakan regulasi berbasis data dan fungsi publik. Ketika dokumen-dokumen seperti hasil pengukuran BPN dan surat pernyataan warga sudah dikantongi, maka PUPR berada pada posisi yang cukup kuat secara tata usaha negara,” jelas Martayadi saat dimintai tanggapan oleh awak media, Kamis (26/9).
Menurutnya, akses jalan adalah bagian dari kepentingan umum yang dilindungi dalam banyak regulasi, baik nasional maupun daerah. Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang secara tegas menyatakan bahwa ruang publik harus dikelola demi kepentingan bersama dan berlandaskan keadilan serta keberlanjutan (Pasal 2 dan Pasal 26 UU 26/2007). Sementara di level lokal, PUPR merujuk pada Perda Kota Jambi Nomor 3 Tahun 2015 tentang Bangunan, yang memberikan dasar hukum bagi tindakan administratif seperti pembongkaran bangunan yang mengganggu ruang publik.
“Selama langkah-langkahnya berbasis regulasi dan prosedur administrasi publik – mulai dari pemberitahuan, SP-1, hingga validasi dokumen – maka tindakan tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai maladministrasi. Bahkan itu merupakan bentuk kewajiban pemerintah menjaga ruang publik,” tambahnya.
Martayadi juga menanggapi tudingan sebagian pihak yang meminta Wali Kota turun tangan secara langsung. Ia menilai hal itu berlebihan dan kurang proporsional.
“Persoalan teknis seperti ini cukup ditangani oleh dinas teknis, yaitu PUPR. Tidak semua hal harus dibawa ke kepala daerah. Jika ranahnya adalah teknis infrastruktur dan ruang kota, maka Dinas PUPR sudah tepat menjadi garda terdepan dalam penanganannya,” tegasnya.
Namun demikian, ia mengingatkan pentingnya transparansi data dan pendekatan persuasif. PUPR diminta membuka data teknis seperti peta pengukuran BPN, dokumen status jalan dalam RTRW dan RDTR, Dokumen lain yang terkait penataan ruang publik, serta surat pernyataan warga yang menjadi dasar penetapan lahan sebagai akses jalan.
“Yang harus dijaga adalah keterbukaan kepada publik. Jika seluruh dokumen bisa diakses secara sah dan terbuka, maka klaim atau gugatan pihak manapun bisa dinilai objektif. Itu juga akan memperkuat legitimasi kebijakan PUPR di mata masyarakat,” katanya.
Mengenai sengketa batas tanah antara Budi Harjo (Acok) dan pihak lain (Fendi), Martayadi menegaskan bahwa persoalan tersebut murni ranah perdata.
“Itu wilayah hukum perdata. Pemerintah jangan terjebak ikut dalam pusaran sengketa kepemilikan. Fokus utama PUPR cukup pada pengelolaan fungsi ruang terutama fungsi-fungsi raung publik – apakah tanah itu fungsional sebagai akses jalan atau tidak,” pungkasnya.
Sebagai penutup, Martayadi mendorong agar Dinas PUPR terus memperkuat landasan regulatif seperti penyusunan Peraturan Wali Kota (Perwal) atau pedoman teknis tambahan untuk memperjelas klasifikasi akses jalan terhadap SHM (sertifikat hak milik) warga. Hal ini penting untuk mencegah polemik berulang di masa depan.
“Akses jalan tidak bisa dilihat semata dari legalitas sertifikat, tapi dari fungsi ruang dalam konteks sosial dan tata kota. Pemerintah wajib memastikan ruang publik tetap terbuka dan fungsional, tanpa mengabaikan hak-hak pemilik tanah yang sah,” tutupnya.