Sentralinfo.com, Jakarta – Dalam kesempatan di DPR, Tan Shot Yen menyebut bahwa menu MBG kini “kacau” karena dominasi makanan olahan seperti “burger, spageti, mie”. Ia heran mengapa justru pangan gandum yang dikonsumsi anak sekolah, padahal gandum tidak tumbuh di Indonesia.
“Yang dibagi adalah burger. Di mana tepung terigu tidak pernah tumbuh di bumi Indonesia,.Dibagi spageti, bakmi Gacoan — oh my god.”
Tan Shot Yen juga menyoroti kualitas daging burger yang dibagikan: kadang tipis, warnanya pink, dan menurutnya tidak bisa dipastikan apakah itu daging olahan yang sehat atau hanya “karton rasa daging.”
Ia mengusulkan agar 80 % menu MBG harus berbasis lokal, agar anak-anak mengenal makanan daerah dan nilai gizi Indonesia.
Menanggapi pernyataan Tan, anggota DPR Irma Suryani menyebut bahwa memang seharusnya bahan pangan MBG tidak melulu menggunakan produk frozen atau impor.
Irma menambahkan bahwa roti burger mungkin produksi dalam negeri, tapi daging atau isi burger bisa saja impor. Menurut dia, penggunaan makanan cepat saji dalam program pemerintah harus dikaji ulang.
Kritik ini membuka diskusi lebih luas mengenai kualitas dan orientasi program MBG: apakah sekadar memberikan makanan atau mendidik pola makan sehat dan cinta pangan lokal?
Publik kini memperhatikan bahwa pendekatan “menu populer” seperti burger bisa mudah diterima secara visual, tapi belum tentu baik dari sisi gizi dan konteks budaya pangan.
Tan berulang kali menekankan bahwa tugas penyedia MBG bukan memenuhi permintaan anak, tetapi memastikan standar gizi yang tepat dan penguatan kedaulatan pangan lokal.
Kritik keras dr. Tan Shot Yen ke menu MBG bukan hanya soal satu burger atau spageti — ia menyeret pertanyaan mendasar tentang arah kebijakan pangan sekolah dan identitas gizi anak bangsa. Bila pemerintah menanggapinya dengan serius, bukan sekadar merombak menu, maka kesempatan reformasi MBG terbuka lebar. Jika tidak — suara “Oh my god” akan terus menggema di ruang sidang dan hati masyarakat Indonesia.