Sentralinfo.com, Jakarta – Pemerintah Indonesia kini resmi memiliki Kementerian Haji, setelah DPR bersama pemerintah mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah menjadi Undang-Undang Haji. Regulasi baru ini sekaligus mempertegas struktur kelembagaan haji di Indonesia, yang sebelumnya hanya berada di bawah Direktorat Jenderal Kementerian Agama.
Salah satu poin penting dalam UU Haji adalah pengaturan mengenai keterlibatan pegawai non-Muslim. Dalam ketentuan yang berlaku, petugas haji di tingkat embarkasi tidak wajib beragama Islam, khususnya di daerah dengan mayoritas non-Muslim seperti Papua atau Manado. Meski demikian, seluruh petugas yang bertugas di Arab Saudi tetap harus Muslim, mengingat peran mereka bersinggungan langsung dengan aspek ibadah di Tanah Suci.
Kementerian Haji menegaskan bahwa keterlibatan non-Muslim hanya sebatas tugas administratif, teknologi informasi, sosial, hingga pelayanan umum, tanpa menyentuh ranah syariat. Aturan teknis mengenai jenis pekerjaan tersebut akan diturunkan melalui Peraturan Menteri Haji.
Isu ini sebelumnya pernah mencuat pada 2024, ketika dua pegawai non-Muslim di Parepare dilibatkan dalam kepanitiaan pemberangkatan jamaah haji. Saat itu, Kementerian Agama menjelaskan bahwa mereka bukan petugas haji resmi (PPIH), melainkan sebatas panitia daerah yang membantu proses keberangkatan hingga Embarkasi Makassar.
“Gotong royong lintas agama dalam kepanitiaan di daerah merupakan hal yang lumrah. Namun, untuk petugas di Tanah Suci tetap harus Muslim,” tegas pejabat Kementerian Haji, dikutip dari Antara.
Dengan lahirnya Kementerian Haji dan pengesahan UU baru ini, Indonesia diharapkan mampu memberikan pelayanan yang lebih profesional, modern, dan inklusif kepada jamaah haji, tanpa mengabaikan prinsip syariat Islam.(*)